Senin, 09 Januari 2012

One Shoot - The Most Beautiful Thing

Kuas yang kupegang terus mengoleskan warna nya di atas kanvas, membuat lukisan yang kubuat terlihat nyata. Kutatap kanvas itu lalu sedikit melirik ke arah objek yang sedang kulukis. Sederhana, aku hanya melukis taman. Walau sederhana tapi menurutku ini indah.
Sebelum aku menceritakan lebih lanjut, aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Angela Santiago. Aku lahir dan besar di Georgia, tepatnya di Atlanta. Dan sungguh sangat disayangkan, diusiaku yang hampir menginjak 18 tahun ini, aku di vonis menderita gagal ginjal akut. Ya, gagal ginjal. Penyakit yang membuat hidupku suram, penyakit yang sedikit demi sedikit merenggut semangat hidupku. Jujur, aku mulai putus asa dengan hidupku ini.
Dukungan dan semangat yang terus mengalir dari keluarga, teman, dan kekasihku Justin, tak dapat menumbuhkan lagi semangatku yang telah sirna. Aku merasa tidak berguna, aku merasa tak ada gunanya lagi hidup didunia ini!
Kuas yang sedari tadi kupegang, tiba-tiba terhenti begitu saja. Kepalaku terasa berat. Perlahan, kusimpan kuas dan palet cat pada meja disampingku. Kusentuh keningku yang mulai dingin. Tak berselang lama, kusadari darah segar sudah mengucur keluar dari hidungku. Kututupi hidungku -yang sudah berlumuran darah- dengan kedua tanganku agar darahku tidak menetes kelantai. Saat itu juga, kudengar suara pintu terbuka. Aku menoleh dan mendapati Justin tengah berdiri diambang pintu.
"Angela, kau kenapa?". Justin menghampiriku dengan setengah berlari. Aku hanya terdiam dengan kedua tanganku masih menutupi dan menyeka darah dihidungku. Dengan cepat, Justin meregup bahuku, menuntunku kepelukannya yang hangat. Dengan satu tangannya, ia mengeluarkan saputangan putih dari saku belakangnya, sementara tangannya yang satu lagi merengkuh daguku. Perlahan-lahan ia menyeka darah dihidungku dengan sapu tangannya hingga hidungku sekarang benar-benar bersih.
"Justin .." ucapku lirih tanpa menatapnya. Justin yang tengah mengelapi telapak tanganku, segera menghentikan aktifitasnya dan menatapku lembut. "kenapa Angela?". "buat apa kau melakukan semua ini? buat apa kau peduli padaku jika akhirnya sebentar lagi aku akan ..". Aku tak dapat melanjutkan kalimatku. Sungguh, itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
"jangan berkata seperti itu Angela," kata Justin ketus sambil menyimpan sapu tangannya -yang sudah berwarna merah darah- di meja. "kau pasti sembuh" ucap Justin penuh keyakinan. Ia mengenggam tanganku erat. Sangat erat.
"tapi jika aku tak mendapat donor ginjal dalam dua minggu, dokter bilang, aku ... aku tak bisa disembuhkan lagi" ucapku tersendat-sendat sambil berurai air mata.
Justin kembali memelukku, meletakkan dagunya di bahuku yang kecil dan lemah. Ia tak peduli darah dari hidungku yang lagi-lagi mengalir membasahi kaosnya. "aku akan melakukan segalanya agar kau sembuh. meskipun aku harus mendonorkan ginjalku sendiri" kata Justin lembut.
Aku langsung tersentak terhadap pernyataan Justin barusan. Kudorong dada bidangnya perlahan dengan kedua tanganku agar dapat menatap mata coklatnya. "Justin, apapun yang terjadi, jangan donorkan ginjalmu untukku. Aku mohon. Lukamu belum kering semenjak kecelakaan itu. Aku takut jika kau mendonorkan ginjalmu untukku, itu akan .. membahayakan hidupmu" jelasku panjang lebar.
Justin menyingkap sedikit kaosnya dan melirik kearah pinggangnya -Justin- sendiri. Yang kulihat sekarang balutan perban dipinggang Justin yang masih terlihat baru.
"baiklah Angela, jika itu maumu. aku janji, aku akan mencarikan donor ginjal untukmu" kata Justin lembut. Sebuah senyum terukir dipipinya yang tirus. Perlahan ia merengkuh wajahku dan mendekatkan wajahnya. Dapat kucium nafas hangatnya yang harum. Sejurus kemudian, bibir kami pun bertemu dan beradu.
--
Kuperhatikan makananku dengan tidak bergairah. Jemariku terus memainkan sedotan limun yang tersimpan didalam sebuah gelas yang besar dan berisi.
Apa benar aku bisa sembuh? Apa benar Justin dapat mencarikan donor ginjal untukku?
"arggh" erangku kecil sambil meremas sedotan yang kumainkan tadi.
"kenapa sayang?" tanya mom yang duduk disebelahku.
"iya Angela, kau kenapa? dad lihat sedari tadi kau hanya diam" sambung dad setelah menyesap kopi hangatnya.
"bagaimana kalau aku tidak bisa sembuh? bagaimana kalau aku sebentar lagi meninggalkan kalian?" kata-kata itupun dengan lancarnya mengalir dari mulutku yang sedari tadi terbungkam. "bagaimana kalau ---"
"ANGELA!" sergah dad dengan tegas.
Aku terdiam dan tertunduk. "maaf dad, aku merasa .. aku merasa tak punya semangat hidup lagi" lirihku tanpa menatap beliau.
"Angela," suara dad terdengar tegas dan berwibawa. "kau akan sembuh Ang. dad dan mom yakin, suatu saat kami akan menemukan pendonor ginjalmu. kau tak boleh menyerah angela" tambah dad masih dengan suara yang tegas.
Untuk beberapa saat, aku masih terdiam. Tak ada satu katapun terucap dari mulut kami berdua.
'KRING .. KRING' suara telepon memecah keheningan yang teripta. "biar kuangkat!" ujar kami bertiga serempak. Sedetik kemudian, tawa menggelegar memenuhi ruang makan yang tengah kami tempati sekarang.
"aku saja yang mengangkat," kata mom disela-sela tawa kami. mom melangkah pelan kearah meja telepon yang berada di sudut ruangan dan segera mengangkat gagang telepon tersebut lalu menempelkan gagang tersebut ke telinganya.
"halo,.. ya benar.. APA? ANDA SERIUS??... besok? baiklah, terima kasih tuan". Percakapan selesai. Mom menyimpan kembali gagang telepon ketempatnya dan berlari kearahku. Senyumnya tersungging lebar. Belum pernah kulihat beliau sesenang itu.
"ada apa mom?" tanyaku heran setelah mom sampai dihadapanku. Dengan cepat, mom memelukku erat. Kurasakan air mata beliau mengalir dibahuku.
"kau akan sembuh Angela, kau akan sembuh sayang,"
--
"aku sedikit tidak siap Justin," ujarku sambil membenahi letak dudukku.
"ayolah Angela, aku yakin kau bisa melewatinya" sahut Justin yang duduk dikursi kecil disamping ranjangku. Sekarang aku dan Justin sedang berada di rumah sakit. Ya, hari ini operasi pendonoran ginjalku akan dilaksanakan. Kemarin mom mendapat telepon dari dr. Dave -dokter yang menanganiku- bahwa pendonorku sudah ditemukan. Sebentar lagi .. sebentar lagi tak ada obat-obatan yang harus kuminum, tak ada lagi darah yang kuteteskan dari hidungku, dan tak ada lagi air mata yang mengalir dari mata mom, dad, dan JUSTIN!
"kau mudah mengatakannya Justin. tapi aku takut jika operasi nanti tidak berjalan lancar" sergahku sedikit khawatir.
"hus! jangan berkata seperti itu Angela. sekarang kau makan dulu ya" tawar Justin seraya mengambil mangkok berisi bubur yang ada di meja samping ranjangku. Saat Justin akan mengarahkan sesendok penuh bubur kearahku, pintu pun terbuka. Sontak aku dan Justin menoleh kearah pintu tadi.
"tuan Bieber," panggil seorang pria jangkung yang tengah berdiri di dekat daun pintu. Justin menyimpan mangkok tadi dan segera berdiri. "kau memanggilku dok?"
Pria jangkuk berstetoskop perlahan melangkah ke arah Justin. "ya, maaf menganggu acara kalian. bisakah kau keruanganku sekarang?" ujar dokter -yang aku tidak tau namanya- tersebut.
"ya," jawab Justin setelah sebelumnya ia menimbang-nimbang ajakan dokter tadi. "Angela, tak apa kan kau makan sendiri? aku ada urusan sebentar" pinta Justin padaku.
Aku mengangguk pelan tapi pasti.
"baiklah, aku tak akan lama. aku pasti segera kembali" kata Justin sebelum menghilang dari balik pintu.
--
"mom, dad, apa kalian sudah melihat Justin?" tanyaku cemas. Sudah satu jam Justin belum menemuiku lagi. Apa dia amnesia jika aku akan operasi? ah, lupakan!
"mungkin Justin ada urusan sayang" jawab mom menenangkanku.
Aku menghela nafas dan menatap dr. Dave yang sedang memeriksa tekanan darahku. "dok, kira-kira siapa pendonor ginjal itu?" tanyaku tiba-tiba.
dr. Dave segera menatapku dan tersenyum tipis. "maaf nona manis, tapi pendonor tidak mengizinkan saya memberitahu namanya. sekali lagi maaf"
aku tersenyum kecil dan ketika mendengar jawaban dr.Dave.
"jadi, kau sudah siap nona?" tanya dr.Dave.
aku mengangguk kecil. mom dan dad segera mencium keningku bergantian. "sukses ya sayang. mom dan dad mencintaimu" gumam mom pelan.
"aku juga mencintai kalian. do'akan aku ya" pintaku pada mom dan dad. mom mengangguk dan tersenyum. begitupula dengan dad.
Empat orang suster mendorong ranjangku menuju ke ruang operasi. Setelah sampai, salah satu suster menyuntikkan obat bius ke lengan kiriku. Samar-samar, kulihat pendonor ginjalku yang berada sekitar tiga meter dari ranjangku. Sepertinya aku mengenalnya. Ia seperti ..... Justin!
"Justin .." desisku lemah. Pendonor itu tersenyum kearahku. Obat bius bereaksi dengan cepat. Tak berselang lama, pandanganku mulai buram, gelap dan gelap.
9 jam kemudian ..
Kubuka mataku perlahan. Orang yang pertama kulihat adalah mom. Ia tersenyum manis. Sangat manis. Kutolehkan kepalaku kekiri. Dad tengah menatapku dengan sebuah senyumin tersungging dibibirnya. Namun fikiranku sekarang tertuju pada Justin. Dimana Justin? Kenapa ia tak menjengukku?
"mom? Justin belum kesini?" tanyaku lemah karena nyeri dibagian pinggangku.
Senyum di bibir mom seketika lenyap. Tergantikan oleh air mata yang mengalir dari mata indah beliau. "Angela.." lirih mom seraya mengenggam erat jemariku yang masih tertancap selang infus. "kau harus kuat sayang.."
"aku harus kuat? aku tak mengerti apa yang mom bicarakan" ucapku heran.
"Justin.. Justinlah pendonor ginjalmu .."
Mataku langsung terbelalak kaget mendengar apa yang dikatakan mom barusan.
--
"BERHENTILAH MENGHALANGIKU DAD!" bentakku pada dad sambil menghentakkan lenganku yang tengah dicengkeram oleh dad. Air mataku terus mengalir setelah mom menceritakan semuanya. Justin .. Justin mendonorkan ginjalnya untukku! Sudah kuduga dia gila!
Kulangkahkan kakiku cepat menuju sebuah ruangan. Ruangan yang kuyakini, Justin sedang ada disana. "lukamu belum kering Angela!" teriak dad dari kejauhan.
Tapi aku tak peduli. Yang kupikirkan sekarang hanyalah keadaan Justin. Ya, hanya Justin. Tuhan! kenapa dia bisa senekat itu? Aku takut. Aku sangat takut jika terjadi apa-apa dengannya.
Langkahku terhenti disebuah pintu dengan tulisan 'ICU' di atasnya. Tanpa basa-basi, kuputar knop pintunya -yang tidak terkunci- dan langsung menghambur kedalam. Aku tersentak ketika kudapati Justin tengah berbaring lemah dengan beberapa alat medis menempel pada tubuhnya yang kekar.
"Justin!" pekikku sambil berlari kearahnya.
"maaf nona, kau dilarang masuk" sergah seorang dokter.
"DIAMLAH!" bentakku pada pria itu. Pandanganku kembali pada Justin. Kugenggam tangannya, tak peduli tanganku yang masih sakit karena selang infus yang kucabut dengan paksa tadi. "Justin, bangunlah! aku mohon Justin" mohonku parau dengan berderai air mata. Entah keajaiban dari mana, perlahan Justin membuka kedua kelopak matanya dengan susah payah. Ia tersenyum kearahku, senyum yang lemah. "Justin.." ucapku senang sambil menyeka air mataku.
"Angela, aku mencintaimu.." ucap Justin terputus-putus.
Kupererat gengamanku dan membalas perkataannya. "aku juga Justin. aku mencintaimu. sangaat mencintaimu"
"maaf Angela, maafkan aku. aku tak bisa menemanimu lagi..," lirih Justin.
"apa maksudmu berkata seperti itu?" ucapku lantang.
Justin terdiam. Sedetik kemudian, sebuah senyum malaikat terukir dipipinya yang tirus. "kau tau Angela, kaulah hal terindah yang pernah kumiliki". Ia tersenyum lagi kearahku dan menutup matanya perlahan.
'TIIITTT.......'. Bunyi pendeteksi jantung yang ada disamping ranjang Justin berbunyi dengan nyaring. Spontan, aku langsung menoleh kearahnya -pendeteksi jantung-.
Datar! ini mustahil! Tuhan, ini tak mungkin terjadi!
Kuarahkan pandanganku kembali kearah Justin. Kulangkahkan kakiku mundur selangkah, memberi jalan bagi para dokter yang dengan sigap memeriksa Justin. Tak lama kemudian, seorang dokter mengangkat tangan dan berkata. "Tuhan berkehendak lain"
DEG!

- THE END - 

Minggu, 08 Januari 2012

JUST ONE THAT MUST





alternating day by day
scrolling without stopping
and perhaps never return

one that must
the love that was given
like the sun's faithful
not be tired by warm hearts

all of which come right away
reserving a memory sheet
but his love still lives here


one by one we love
would not be here forever
always accompanied in this life

nothing is eternal
only true love
because his love never dies


with lovee -



@onyoooongs :)